Review
film Sucksuckers
Deanda
Dewindaru
1206205332
“Everybody is
naturally and powerfully attracted to fame” merupakan suatu prolog di
bagian awal film Starsuckers. Film tersebut memiliki suatu makna bahwa setiap
orang secara alami berusaha untuk menjadi populer bagaimanapun caranya dan
dimulai sejak kecil sampai dewasa. Hal tersebut dikarenakan oleh paparan media
yang sejak umur dini dan industri media memberikan suatu harapan bahwa setiap
orang bisa terkenal.
Starsuckers tak hanya itu menceritakan mengenai bahwa
sesuatu yang tidak sama dengan yang mainstream
maka dianggap outside. Sesuai
dengan Mahzab Frankrut School, jika sesuatu berbeda dengan industri, maka
dianggap aneh. Di film dijelaskan bahwa orang yang sukses pasti diikuti oleh
yang lainnya dan akhirnya terdapat “copy”-an yang lainnya. Sama saja seperti
orang yang ingin terkenal cenderung mengikuti cara orang yang sudah terkenal,
sedangkan orang yang memiliki gayanya tersendiri dan berbeda dengan yang lain
dianggap aneh atau bahkan musnah di dunianya, padahal setiap orang memiliki
gayanya tersendiri untuk berekspresi. Di film, terdapat scene dimana perbandingan antara orang purba yang berburu dengan
mata panah lancip sedangkan yang lain tidak, dan yang berhasil adalah pemburu
pertama sehingga orang lainpun mengikutinya.
Selain itu, seorang anak berusaha untuk menjadi artis didukung oleh
orangtuanya dengan melewati beberapa cara agar dapat terkenal dan bergaya
seperti artis terkenal. Dengan adanya hal seperti itu, menurut Ardono terciptalah
homogenitas yang menyebabkan selera orang dibuat sama, serta standardisasi
dimana adanya kriteria standar terhadap suatu objek. Industri membuat semua hal
menjadi sama.
Tak hanya homogenitas
dan standardisasi, efek lainnya dari hal itu adalah komodifikasi yaitu memberi
sesuatu nilai yang berharga kepada barang/jasa/ide, apapun yang dapat dijual
agar mendapatkan keuntungan. Di film sucksuckers memperlihatkan bahwa informasi
yang didapatkan dapat dijual kepada khalayak, baik informasi baik, buruk bahkan
informasi tanpa dicek kebenarannya dan diubah agar lebih menarik. Tak peduli
informasi benar atau salah yang khalayak ingin ketahui adalah suatu informasi
yang menarik untuk diketahui. Contohnya adalah ketika seorang observer
menelepon The Sun section Bizarre
untuk menceritakan mengenai Sarah Harding. Observer
mengatakan bahwa “she has loads of
books on like, quantum physics”, tetapi The Sun menulis “…books about astronomy and quantum physics”.
Apapun yang diberitakan media tetapi khalayak
menyukai, media tetap memberitakan informasi tersebut dan bahkan mengatur khalayaknya
untuk mengikuti “permainannya”. Suatu term
yang digunakan oleh Frankfurt School yaitu consciousness industry mendeskripsikan bagaimana media berfungsi
untuk mengkontrol pikiran dan perasaan massa sekaligus mendapatkan uang dari
hal tersebut. Selama massa merasa hasratnya terpuaskan dengan program yang
diberikan oleh media, maka industri tetap berjalan dan industri media tetap
mendapatkan uang. Tetapi apakah dengan hal demikian berarti khalayak mudah
untuk dimanipulasi oleh media? Jika melihat dari film Starsuckers iya, tapi
menurut pandangan saya, tidak semua khalayak tidak mudah dimanipulasi ketika genuine tidak menjadi atomisasi dan
didasarkan oleh keaslian dari diri sendiri. Selama khalayak merasa senang
dengan apa yang didapatkannya dan merasa tidak dimanipulasi oleh media, menurut
saya tidak apa-apa, seperti goyang YKS yang dilakukan oleh kaum pekerja
domestik, mereka menganggap hal tersebut dapat dijadikan ajang berekspresi
untuk menyalurkan keletihan dan kejenuhan ketika bekerja di dalam rumah setiap
harinya, dan bahkan mereka merasa bahagia.
Referensi
Srinati, D. (2004). An Introduction To Theories of
Popular Culture. Routledge: New York.